Arsitektur Hijau dan Penerapannya.
BAB
I
PENDAHULUAN
I.A
LATAR BELAKANG
Dasar
kehidupan kita antara lain mencakup pembangunan dan pemukiman. Dasar ini
sebenarnya menjadi titik pangkal cara kita membangun. Akan tetapi dewasa ini
banyak hal tentang dasar-dasar kehidupan itu telah disingkirkan.
Salah
satu tujuan penting dari cara membangun, ialah perlindungan terhadap penghuni.
Perencanaan proyek besar juga di Indonesia pada tahun-tahun yang lalu sering
lebih banyak memperhatikan masalah teknis dan bahan bangunan daripada kenyamanan
dan perlindungan penghuninya. Hasil arsitektur atau bangunan yang dianggap
modern sering kali tidak sesuai untuk tempat kediaman atau pemukiman manusia.
Kehidupan
manusia bersegi dua, yaitu alam dan teknik. Teknik dilahirkan dimana terdapat
kekurangan. Dalam hal ini teknik diciptakan sebagai alat pembantu/buatan untuk
menjembatani kesenjangan yang terjadi karena proses biologik yang terlambat
atau makan waktu terlalu lama.
Setiap
pembangunan merupakan suatu pembaharuan atau perubahan lingkungan. Perhatian
atas perubahan lingkungan berarti perhatian atas arsitekturnya dan atas
kualitas kehidupan manusia. Jikalau kita membandingkan kualitas lingkungan pada
masa lalu dan pada masa sekarang, maka harus kita akui bahwa kualitasnya makin
lama makin menurun.
Menurut
Prof. Peter Schmid dalam bukunya Biologische Architektur, hubungan-hubungan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Seimbang dengan alam, seimbang dengan
manusia dan kemanusiaan, seimbang dengan lingkungan terbangun. Jikalau semuanya
harmonis, maka kualitas lingkungan manusia akan memuaskan. Akan tetapi
pengaruh-pengaruh diatas sering bertubrukan, pembangunan pabrik dan jalan
merusak hutan dan sawah (alam sekitarnya), begitu juga karena pembangunan
membutuhkan kayu, batu alam, bambu, dan lainnya. Kehidupan kita juga dapat
menambah kerusakan alam jikalau kita hanya hidup dari alam tetapi tidak
menghidupi alam.
Permasalahan
lingkungan khususnya pemanasan global menjadi topik permasalahan
yang mencuat akhir-akhir ini. Dalam dunia arsitektur muncul fenomena sick
building syndrome yaitu permasalahan kesehatan dan ketidak nyamanan karena
kualitas udara dan polusi udara dalam bangunan yang ditempati yang
mempengaruhi produktivitas penghuni, adanya ventilasi udara yang buruk,
dan pencahayaan alami kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, misalnya:
emisi ozon mesin fotocopy, polusi dari perabot dan panel kayu, asap rokok, dsb.
Menurut
World Health Organisation (WHO), 30% bangunan gedung di dunia mengalami
masalah kualitas udara dalam ruangan. Untuk itu muncul adanya konsep green
architecture yaitu pendekatan perencanaan arsitektur yang berusaha
meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Konsep green architecture ini memiliki beberapa
manfaat diantaranya bangunan lebih tahan lama, hemat energi, perawatan bangunan
lebih minimal, lebih nyaman ditinggali, serta lebih sehat bagi penghuni. Konsep
green architecture memberi kontribusi pada masalah lingkungan khususnya
pemanasan global. Apalagi bangunan adalah penghasil terbesar lebih dari 30%
emisi global karbon dioksida sebagai salah satu penyebab pemanasan global.
Selain
karna adanya pemanasan global, penciptaan atau inovasi energi yang
terbarukan juga menjadi latar belakang timbulnya konsep green architecture.
Sampai pada akhirnya timbul konsep Green building. Gedung Hemat Energi
atau dikenal dengan sebutan green building terus digalakkan
pembangunannya sebagai salah satu langkah antisipasi terhadap perubahan iklim
global. Dengan konsep hemat energi yang tepat, konsumsi energi suatu gedung
dapat diturunkan hingga 50%, dengan hanya menambah investasi sebesar 5% saat
pembangunannya. ”Dengan hanya menambah 5% dari biaya pembangunan gedung biasa,
konsumsi energi gedung dapat diturunkan hingga 50%.” Green building
dibangun dengan perencanaan energi modern. Selain dari sisi desain yang
dipertimbangkan untuk meminimalkan masuknya sinar matahari sehingga mengurangi
penggunaan beban Air Conditioner (AC), pada atap gedung bisa dipasang
panel surya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam gedung.
Beberapa sudut pandang dapat dipertimbangkan dalam perencanaan tersebut
diantaranya adalah aspek Passive Design, Active Design, Kondisi
Udara Ruangan, Management, serta Service & Maintenance.
Indikasi
arsitektur disebut sebagai 'green' jika dikaitkan dengan praktek
arsitektur antara lain penggunaan renewable resources (sumber-sumber
yang dapat diperbaharui, passive-active solar photovoltaic (sel surya
pembangkit listrik), teknik menggunakan tanaman untuk atap, taman tadah hujan,
menggunakan kerikil yang dipadatkan untuk area perkerasan, dan sebagainya.
I.B
PERMASALAHAN
Penerapan
Green architecture Dan Green building Sebagai Upaya Pencapaian Sustainable
architecture merupakan cara untuk mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai
makna penerapan Green architecture Dan Green building yang timbul
sebagai ekspresi bangunan. Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara
menerapkan perencanaan bangunan sejak awal berdasarkan konsep green
architecture dan green building? bagaimana mendesain sebuah bangunan
yang 'green' sekaligus memiliki estetika bangunan yang baik? Karena bisa
saja bangunan memiliki fasilitas yang mendukung konsep green, namun
ternyata secara estetika terlihat kurang menarik. Dalam hal ini, peran arsitek
menjadi penting. Standar bangunan yang 'green' juga bisa menuntut lebih
banyak dana, karena fasilitas yang dibeli agar bangunan menjadi 'green'
tidak murah, misalnya penggunaan photovoltaic (sel surya pembangkit listrik).
Teknologi agar bangunan menjadi 'green' biasanya tidak murah.
Bagaimana
konsep terapan green architecture dan green building dapat
mendukung konsep arsitektur berkelanjutan?
I.C
TUJUAN
Berdasarkan
latar belakang masalah, tujuan penulisan ini sebagai berikut :
- Mengetahui
konsep terapan green architecture.
- Mengetahui
konsep terapan green building,
- Mengetahui
bagaimana green architecture dan green building dapat
mendukung konsep arsitektur.
- Mengetahui cara
mendesain sebuah bangunan green sekaligus memiliki estetika
bangunan yang baik.
- Mengetahui cara menerapkan perencanaan bangunan berdasarkan konsep green architecture dan green building.
I.D
METODEOLOGI
Metode
yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian deskriptif. Menurut
Arikunto deskriptif adalah Penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki
keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya
dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Dalam penelitian, peneliti tidak
mengubah, menambah, atau mengadakan manipulasi terhadap objek atau wilayah
penelitian. Dalam kegiatan penelitian ini peneliti hanya memotret apa yang
terjadi pada diri objek atau wilayah yang diteliti, kemudian memaparkan apa
yang terjadi dalam bentuk laporan penelitian secara lugas, seperti apa adanya.
Lebih
lanjut Lexy Moleong menyatakan bahwa Pelaksanaan metode deskriptif tidak
terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi
analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut, selain itu semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Sementara
desain yang digunakan dalam tulisan ini adalah desain library studies,
dimana penulis melakukan penelusuran terhadap literatur kemudian melakukan
penelahaan.
I.E
SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk
memahami lebih jelas makalah ini, maka materi-materi yang tertera pada makalah
ini dikelompokkan menjadi beberapa sub bab dengan sistematika penyampaian
sebagai berikut :
1.
Pendahuluan
Berisi
tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, metodeologi, dan sistematika
penulisan.
2.
Tinjauan Pustaka
Berisi
tentang uraian teori dan perkembangan Green architecture
3.
Studi Kasus dan Analisis
Berisi
tentang pembahasan bangunan yang menggunakan green architecture
4.
Kesimpulan
Bab
ini berisi kesimpulan yang berkaitan dengan analisa dan optimalisasi sistem
berdasarkan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Daftar
Pustaka.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.A TEORI
PENERAPAN GREEN ARCHITECTURE
1) Memiliki Konsep High Perfomance Building & Earth
Friendly.
a. Dapat dilihat dari dinding bangunan, terdapat kaca di
beberapa
bagiannya. Fungsinya adalah untuk menghemat penggunaan
elektrisiti
untuk bangunan terutama dari segi pencahayaan dari lampu.
b. Menggunakan energi alam seperti angin, sebagai penyejuk
lingkungan.
c. Bahan-bahan bangunan yang digunakan cenderung ramah pada
lingkungan seperti keramik dengan motif kasar pada lantai
untuk
mengurangi pantulan panas yang dihasilkan dari dinding yang
berkaca.
d. Kolam air disekitar Bangunan berfungsi selain dapat
memantulkan sinar
lampu, juga dapat mereduksi panas matahari sehingga udara
tampak
sejuk dan lembab.
2) Memiliki Konsep Sustainable
Pembangunannya sangat di konsepkan, menelaah lahan
lingkungan wilayah
yang sangat terbatas, dengan konsep alamiah dan natural,
dipadukan dengan
konsep teknologi tinggi, bangunan ini memungkinkan terus
bertahan dalam
jangka panjang karena tidak merusak lingkungan sekitar yang
ada.
3) Memiliki Konsep Future Healthly.
a. Dapat dilihat dari beberapa tanaman rindang yang
mengelilingi
bangunan, membuat iklim udara yang sejuk dan sehat bagi
kehidupan
sekitar, lingkungan tampak tenang, karena beberapa vegetasi
dapat
digunakan sebagai penahan kebisingan.
b. Dinding bangunan curtain wall dilapisi alumunium dapat
berguna untuk
UV protector untuk bangunan itu sendiri. Tentunya ini semua
dapat
memberi efek positif untuk kehidupan.
c. Pada bagian atap gedung, terdapat tangga untuk para
pengguna yang
akan menuju lantai atas. Ini dapat meminimalisasi penggunaan
listrik
untuk lift atau eskalator.
d. Tentu lebih menyehatkan, selain sejuk pada atap bangunan
terdapat
rumput yang digunakan sebagai green roof, pengguna
juga mendapatkan
sinar matahari.
4) Memiliki Konsep Climate Supportly.
Dengan konsep penghijauan, sangat cocok untuk iklim yang
masih
tergolong tropis (khatulistiwa). Pada saat penghujan, dapat
sebagai resapan
air, dan pada saat kemarau, dapat sebagai penyejuk udara.
5) Memiliki Konsep Esthetic Usefully.
Penggunaan green roof pada kampus ini, selain untuk
keindahan dan agar
terlihat menyatu dengan alam, juga dapat digunakan sebagai
water catcher
sebagi proses pendingin ruangan alami karena sinar matahari
tidak diserap
beton secara langsung. Ini juga menurunkan suhu panas di
siang hari dan
sejuk di malam hari untuk lingkungan sekitarnya. Desainnya
yang
melengkung digunakan agar penyerapan matahari oleh kulit
bangunan dapat
di minimalisasikan.
PENERAPAN
GREEN BUILDING
1)
Efisiensi Energy
Bangunan
hijau sering termasuk langkah-langkah untuk mengurangi
konsumsi
energi - energi yang terkandung baik diperlukan untuk
mengekstrak,
proses, transportasi dan menginstal bahan bangunan dan
energi
operasi untuk menyediakan layanan seperti pemanasan dan listrik
untuk
peralatan.
Seperti
kinerja tinggi bangunan menggunakan energi operasi yang kurang,
energi
yang terkandung telah diasumsikan penting jauh lebih besar - dan
mungkin
membuat sebanyak 30% dari konsumsi energi secara keseluruhan
siklus
hidup. Studi gedung menunjukan bahwa bangunan yang dibangun
terutama
dengan kayu akan memiliki energi yang terkandung lebih rendah
daripada
mereka dibangun terutama dengan bata, beton atau baja
Untuk
mengurangi operasi penggunaan energi, efisiensi tinggi jendela dan
isolasi
di dinding, plafon, dan lantai meningkatkan efisiensi selubung
bangunan,
(penghalang antara ruang AC dan tanpa syarat). Strategi lain,
desain
bangunan pasif surya, sering diimplementasikan dalam energi rendah
rumah.
Desainer mengorientasikan jendela dan dinding dan tenda tempat,
beranda,
dan pohon untuk jendela naungan dan atap selama musim panas
sambil
memaksimalkan keuntungan surya di musim kemarau. Selain itu,
penempatan
jendela yang efektif (pencahayaan) dapat memberikan lebih
banyak
cahaya alami dan mengurangi kebutuhan untuk penerangan listrik
pada
siang hari. Pemanas air tenaga surya lebih lanjut mengurangi biaya
energi.
Ruang
generasi energi terbarukan melalui tenaga surya, tenaga angin, tenaga
air,
atau biomassa secara signifikan dapat mengurangi dampak lingkungan
dari
bangunan. Pembangkit listrik umumnya fitur yang paling mahal untuk
ditambahkan
ke sebuah bangunan.
2)
Efisiensi Air
Mengurangi
konsumsi air dan melindungi kualitas air merupakan tujuan
utama
dalam bangunan yang berkelanjutan. Salah satu isu penting dari
konsumsi
air adalah bahwa di banyak daerah, tuntutan terhadap penyediaan
akuifer
melampaui kemampuannya untuk mengisi dirinya sendiri.
Semaksimal
mungkin, fasilitas harus meningkatkan ketergantungan mereka
pada
air yang dikumpulkan, digunakan, dimurnikan, dan digunakan kembali
di
tempat. Perlindungan dan konservasi air sepanjang kehidupan bangunan
dapat
dicapai dengan merancang untuk pipa ganda yang mendaur ulang air
di
toilet disiram.
Limbah-air
dapat diminimalkan dengan memanfaatkan perlengkapan
konservasi
air seperti ultra-rendah toilet flush dan aliran rendah kepala
pancuran.
Bidets membantu menghilangkan penggunaan kertas toilet,
mengurangi
lalu lintas selokan dan kemungkinan meningkatnya kembali
menggunakan
air di tempat. Titik perawatan menggunakan air dan pemanas
meningkatkan
baik kualitas air dan efisiensi energi sementara mengurangi
jumlah
air dalam sirkulasi. Penggunaan non-limbah dan greywater untuksitus
digunakan
seperti situs-irigasi akan meminimalkan tuntutan pada
akuifer
setempat.
3)
Efisiensi Bahan / Material
Bahan
bangunan biasanya dianggap sebagai 'hijau' termasuk kayu dari hutan
yang
telah disertifikasi dengan standar hutan pihak ketiga, bahan tanaman
cepat
terbarukan seperti bambu dan jerami, batu dimensi, batu daur ulang,
logam
daur ulang, dan produk lainnya yang non- beracun, dapat digunakan
kembali,
terbarukan, dan / atau didaur ulang (misalnya, Trass, Linoleum,
wol
domba, panel terbuat dari kertas serpih, tanah liat, vermikulit, linen
rami,
sisal, padang lamun, gabus , kelapa, kayu piring serat, kalsium pasir
batu,
beton) juga menyarankan menggunakan barang-barang industri daur
ulang,
seperti produk pembakaran batubara, pasir pengecoran, dan puingpuing
pembongkaran
dalam proyek konstruksi bahan bangunan harus diekstrak dan diproduksi secara
lokal ke situs bangunan untuk meminimalkan energi tertanam dalam transportasi
mereka.
Bila
memungkinkan, elemen bangunan harus diproduksi off-situs dan dikirimkan ke
situs, untuk memaksimalkan manfaat dari off-situs manufaktur termasuk
meminimalkan limbah, daur ulang memaksimalkan (karena manufaktur adalah di satu
lokasi), kebisingan unsur kualitas tinggi,
lebih
baik manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
4)
Peningkatan Mutu Lingkungan
Kualitas
Lingkungan diwujudkan dalam kategori untuk memberikan
kenyamanan,
kesejahteraan, dan produktivitas penghuninya, kualitas udara
dalam
ruangan, kualitas termal, dan pencahayaan kualitas.
Indoor
Air Quality berusaha untuk mengurangi senyawa organik yang
mudah
menguap, atau kotoran udara lainnya seperti kontaminan mikroba.
Bangunan
bergantung pada sistem ventilasi yang dirancang dengan baik
(passively/naturally-
atau mekanis bertenaga) untuk menyediakan ventilasi
yang
memadai udara bersih dari luar rumah atau diresirkulasi, udara
disaring
serta operasi terisolasi (dapur, pembersih kering, dll) dari hunian
lain.
Selama proses desain dan konstruksi memilih bahan bangunan dan
produk
selesai interior dengan emisi nol atau rendah akan meningkatkan
kualitas
udara.
Sebagian
besar bahan bangunan dan pembersihan / pemeliharaan produk
memancarkan
gas, beberapa dari mereka beracun, termasuk formaldehida.
Gas-gas
ini dapat memiliki dampak merugikan pada kesehatan penghuni,
kenyamanan,
dan produktivitas.
Juga
penting untuk kualitas udara dalam ruangan adalah kontrol akumulasi
kelembaban
(kelembaban) yang mengarah ke pertumbuhan jamur dan
adanya
bakteri dan virus serta tungau debu dan organisme lain dan kekhawatiran
mikrobiologi. Intrusi air melalui amplop bangunan atau kondensasi air pada
permukaan dingin pada interior bangunan dapat meningkatkan dan mempertahankan
pertumbuhan mikroba. Sebuah amplop
baik
berisolasi dan tertutup rapat akan mengurangi masalah kelembaban, tetapi
ventilasi yang memadai juga diperlukan untuk menghilangkan uap air dari dalam
ruangan sumber termasuk proses metabolisme manusia, memasak, mandi, membersihkan,
dan kegiatan lainnya.
Kontrol
suhu aliran udara atas sistem AC ditambah dengan selubung
bangunan
yang dirancang dengan baik juga akan membantu dalam meningkatkan kualitas
termal bangunan. Menciptakan lingkungan bercahaya kinerja tinggi melalui integrasi
hati-hati dan sumber cahaya siang
hari
listrik akan memperbaiki kualitas pencahayaan dan kinerja energi dari
struktur.
Produk-produk
kayu solid, khususnya lantai, seringkali ditentukan dalam
lingkungan
di mana penghuni diketahui memiliki alergi terhadap debu atau
partikel
lainnya. Kayu itu sendiri dianggap hypo-allergenic dan permukaan
halus
mencegah penumpukan partikel lembut seperti karpet. Untuk itu
direkomendasikan
kayu, vinil, ubin lantai linoleum atau batu tulis bukan
karpet.
Penggunaan produk kayu juga dapat meningkatkan kualitas udara
dengan
menyerap atau melepaskan uap air di udara untuk kelembaban
moderat.
Interaksi
antara semua komponen indoor dan penghuni bersama-sama
membentuk
proses-proses yang menentukan kualitas udara dalam ruangan.
5)
Operasi Dan Optimasi Pemeliharaan
Keberkelanjutan
bangunan dapat dioperasikan secara bertanggung jawab
dan
dipelihara dengan baik. Jika tahap operasi dan pemeliharaan merupakan
bagian
dari perencanaan proyek dan proses pembangunan akan membantu
mempertahankan
kriteria hijau yang dirancang pada awal proyek. Setiap
aspek
dari bangunan hijau adalah diintegrasikan ke dalam fase Operating
dan
Maintenance. Meskipun tujuan pengurangan limbah dapat diterapkan
selama
fase desain, konstruksi dan pembongkaran tetapi siklus hidup
bangunan
itu adalah dalam fase O & M dengan cara seperti daur ulang dan
peningkatan
kualitas udara berlangsung.
6)
Pengurangan Sampah
Arsitektur
hijau juga berusaha untuk mengurangi pemborosan energi, air
dan
bahan yang digunakan selama konstruksi. Selama fase konstruksi, satu
tujuan
harus untuk mengurangi jumlah bahan pergi ke tempat pembuangan
sampah.
Bangunan yang dirancang dengan baik juga membantu mengurangi
jumlah
limbah yang dihasilkan oleh penghuni juga, dengan menyediakan di
tempat
sampah solusi seperti kompos untuk mengurangi masalah akan ke
tempat
pembuangan sampah.
Untuk
mengurangi jumlah kayu yang masuk ke TPA, saat bangunan
mencapai
akhir masa pakainya, mereka biasanya dibongkar dan diangkut ke
tempat
pembuangan sampah. Dekonstruksi adalah metode apa yang
umumnya
dianggap "sampah" dan reklamasi menjadi bahan bangunan yang
berguna.
Memperpanjang masa manfaat struktur juga mengurangi limbah -.
Bahan
bangunan seperti kayu yang ringan dan mudah untuk bekerja dengan
membuat
renovasi mudah.
Untuk
mengurangi dampak pada sumur atau pabrik pengolahan air, ada
beberapa
pilihan. "Greywater", air limbah dari sumber seperti pencuci piring
atau
mesin cuci, dapat digunakan untuk irigasi bawah permukaan, atau jika
dirawat,
untuk non-minum tujuan, misalnya, untuk menyiram toilet dan
mencuci
mobil. Kolektor air hujan digunakan untuk tujuan serupa.
Sentralisasi
sistem pengolahan air limbah dapat mahal dan menggunakan
banyak
energi. Sebuah alternatif untuk proses ini adalah mengkonversi
limbah
dan air limbah menjadi pupuk, yang menghindari biaya ini dan
menunjukkan
manfaat lainnya. Dengan mengumpulkan limbah manusia di
sumbernya
dan berjalan ke pabrik biogas semi-terpusat dengan limbah
biologis
lainnya, pupuk cair dapat diproduksi. Praktik seperti ini
menyediakan
tanah dengan nutrisi organik dan menciptakan penyerap
karbon
yang menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer, offsetting emisi
gas
rumah kaca. Memproduksi pupuk buatan juga lebih mahal dalam energi
daripada
proses ini.
7)
Optimasi Biaya dan Manfaat
Masalah
yang paling dikritik tentang membangun bangunan ramah
lingkungan
adalah harga, peralatan baru, dan teknologi modern cenderung
biaya
lebih banyak uang. Penghematan uang berasal dari penggunaan yang
lebih
efisien utilitas yang menghasilkan tagihan energi menurun.
Studi
telah menunjukkan selama masa hidup rentabilitas investasi green
building,
mencapai sewa secara signifikan lebih tinggi, harga jual dan
tingkat
hunian serta tingkat kapitalisasi yang lebih rendah berpotensi
mencerminkan
risiko investasi yang lebih rendah.
8)
Peraturan Dan Operasi
Sebagai
akibat dari meningkatnya minat dalam konsep green building dan
praktek,
sejumlah organisasi telah mengembangkan standar, kode dan
sistem
rating yang memungkinkan regulator pemerintah, membangun
profesional
dan konsumen menerima green building dengan keyakinan.
Dalam
beberapa kasus, kode ini ditulis sehingga pemerintah daerah dapat
mengadopsi
mereka sebagai peraturan untuk mengurangi dampak
lingkungan
lokal bangunan.
Perlu
Kode dan Peraturan tentang Standar Bangunan Hijau / Green building
yang
membantu menentukan tingkat konsumen struktur dari kinerja
lingkungan,
membangun fitur opsional yang mendukung desain hijau dalam
kategori
seperti lokasi dan pemeliharaan bangunan, konservasi air, energi,
dan
bahan bangunan, dan kenyamanan penghuni dan kesehatan, serta
menetapkan
persyaratan minimum untuk elemen bangunan hijau seperti
bahan
atau pemanasan dan pendinginan.
PENERAPAN SUISTAINABLE ARCHITECTURE
Dampak
negatif dari pembangunan konstruksi sangat beragam, antara lain
adalah
dieksploitasinya sumber daya alam secara berlebihan. Simak saja,
pertambangan
sumber daya alam yang dikeruk habis-habisan, penggundulan
hutan
tanpa penanaman kembali, dimana hal-hal semacam ini dapat
menurunkan
kualitas sumber daya alam lain di bumi. Tidak hanya itu, teknologi
dan
hasil teknologi yang digunakan manusia seperti kendaraan, alat-alat
produksi
dalam sistem produksi barang dan jasa (misalnya pabrik), peralatan
rumah
tangga dan sebagainya dapat menimbulkan dampak negatif akibat emisi
gas
buangan, limbah yang mencemari lingkungan.
Perlunya
lebih banyak promosi bagi arsitektur berkelanjutan adalah sebuah
keharusan,
mengingat kondisi bumi yang semakin menurun dengan adanya
degradasi
kualitas atmosfer bumi yang memberi dampak pada pemanasan
global.
Semakin banyak arsitek dan konsultan arsitektur yang menggunakan
prinsip
desain yang berkelanjutan, semakin banyak pula bangunan yang tanggap
lingkungan
dan meminimalkan dampak lingkungan akibat pembangunan.
Dorongan
untuk lebih banyak menggunakan prinsip arsitektur berkelanjutan
antara
lain dengan mendorong pula pihak-pihak lain untuk berkaitan dengan
pembangunan
seperti developer, pemerintah dan lain-lain. Mereka juga perlu
untuk
didorong lebih perhatian kepada keberlanjutan dalam pembangunan ini
dengan
tidak hanya mengeksploitasi lahan untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya
tanpa kontribusi bagi lingkungan atau memperhatikan
dampak
lingkungan yang dapat terjadi.
Tampaknya,
sangat tidak mudah untuk menghilangkan sama sekali dampak dari
pembangunan
dan konstruksi terhadap lingkungan. Tentunya tidak mungkin
untuk
melarang orang membangun, karena sudah menjadi kebutuhan manusia,
sehingga
yang dapat dilakukan adalah memasukkan konsep arsitektur
berkelanjutan
dalam rangka meminimalkan dampak negatif konstruksi terhadap
lingkungan.
Konsep arsitektur berkelanjutan ini memiliki banyak persamaan,
yaitu
menyerukan agar sumber daya alam dan potensi lahan tidak digunakan
secara
sembarangan, penggunaan potensi lahan untuk arsitektur yang hemat
energi,
dan sebagainya.
Berbagai
konsep dalam arsitektur yang mendukung arsitektur berkelanjutan,
antara
lain;
1)
Dalam Efisiensi Penggunaan Energi
Arsitektur
dapat menjadi media yang paling berpengaruh dengan
implementasi
arsitektur berkelanjutan, karena dampaknya secara langsung
terhadap
lahan. Konsep desain yang dapat meminimalkan penggunaan
energi
listrik, misalnya, dapat digolongkan sebagai konsep sustainable
dalam
energi, yang dapat diintegrasikan dengan konsep penggunaan sumber
cahaya
matahari secara maksimal untuk penerangan, penghawaan alami,
pemanasan
air untuk kebutuhan domestik, dan sebagainya.
a.
Memanfaatkan sinar matahari untuk pencahayaan alami secara
maksimal
pada siang hari, untuk mengurangi penggunaan energi listrik.
b.
Memanfaatkan penghawaan alami sebagai ganti pengkondisian udara
buatan
(air conditioner). Menggunakan ventilasi dan bukaan,
penghawaan
silang, dan cara-cara inovatif lainnya.
c.
Memanfaatkan air hujan dalam cara-cara inovatif untuk menampung dan
mengolah
air hujan untuk keperluan domestik.
d.
Konsep efisiensi penggunaan energi seperti pencahayaan dan
penghawaan
alami merupakan konsep spesifik untuk wilayah dengan
iklim
tropis.
2)
Dalam Efisiensi Penggunaan Lahan
Lahan
yang semakin sempit, mahal dan berharga tidak harus digunakan
seluruhnya
untuk bangunan, karena sebaiknya selalu ada lahan hijau dan
penunjang
keberlanjutan potensi lahan.
a.
Menggunakan seperlunya lahan yang ada, tidak semua lahan harus
dijadikan
bangunan, atau ditutupi dengan bangunan, karena dengan
demikian
lahan yang ada tidak memiliki cukup lahan hijau dan taman.
Menggunakan
lahan secara efisien, kompak dan terpadu.
b.
Potensi hijau tumbuhan dalam lahan dapat digantikan atau
dimaksimalkan
dengan berbagai inovasi, misalnya pembuatan atap
diatas
bangunan (taman atap), taman gantung (dengan menggantung potpot
tanaman
pada sekitar bangunan), pagar tanaman atau yang dapat
diisi
dengan tanaman, dinding dengan taman pada dinding (seperti yang
didesain
Adi Purnomo dalam beberapa rumah), dan sebagainya.
c.
Menghargai kehadiran tanaman yang ada di lahan, dengan tidak mudah
menebang
pohon-pohon, sehingga tumbuhan yang ada dapat menjadi
bagian
untuk berbagi dengan bangunan.
d.
Desain terbuka dengan ruang-ruang yang terbuka ke taman (sesuai
dengan
fleksibilitas buka-tutup yang direncanakan sebelumnya) dapat
menjadi
inovasi untuk mengintegrasikan luar dan dalam bangunan,
memberikan
fleksibilitas ruang yang lebih besar.
e.
Dalam perencanaan desain, pertimbangkan berbagai hal yang dapat
menjadi
tolak ukur dalam menggunakan berbagai potensi lahan,
misalnya;
berapa luas dan banyak ruang yang diperlukan? Dimana letak
lahan
(dikota atau didesa) dan bagaimana konsekuensinya terhadap
desain?
Bagaimana bentuk site dan pengaruhnya terhadap desain ruangruang?
Berapa
banyak potensi cahaya dan penghawaan alami yang dapat
digunakan?
3)
Dalam Efisiensi Penggunaan Material
a.
Memanfaatkan material sisa untuk digunakan juga dalam pembangunan,
sehingga
tidak membuang material, misalnya kayu sisa bekisting dapat
digunakan
untuk bagian lain bangunan.
b.
Memanfaatkan material bekas untuk bangunan, komponen lama yang
masih
bisa digunakan, misalnya sisa bongkaran bangunan lama.
c.
Menggunakan material yang masih berlimpah maupun yang jarang
ditemui
dengan sebaik-baiknya, terutama untuk material yang semakin
jarang
seperti kayu.
d.
Dalam penggunaan teknologi dan material baru.
e.
Memanfaatkan potensi energi terbarukan seperti energi angin, cahaya
matahari
dan air untuk menghasilkan energi listrik domestik untuk
rumah
tangga dan bangunan lain secara independen.
II.B
TEORI
PERKEMBANGAN GREEN ARCHITECTURE DI INDONESIA DAN DUNIA
Di Indonesia sendiri, gerakan
Arsitektur Hijau juga tampak pada tahun 1980-an. Beberapa tokoh yang turut
berperan adalah Y.B. Mangun Wijaya, Heinz Frick, dan Eko Prawoto (Tanuwidjaya,
Gunawan).
Pada tahun 2009, didirikan Green
building Council Indonesia (atau sering juga disingkat GBCI). Yaitu sebuah
lembaga mandiri dan nirlaba yang didirikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
seperti: biro konsultan dan konstruksi, kalangan indistri properti, pemerintah,
intitusi pendidikan, dan masyarakat peduli lingkungan sebagai sarana
pertimbangan dan sertifikasi bangunan bertaraf green.
Menurut GBCI dalam programnya yang
disebut Green Ship, terdapat beberapa faktor yang menentukan apakah
suatu bangunan dapat diberi sertifikasi green building. Yaitu:
- Efisiensi energi
dan refrigerant
- Tepat guna lahan
- Konservasi air
- Sumber dan
siklus material
- Kualitas udara
dan kenyamanan udara
- Manajemen
lingkungan bangunan
Menurut Paola Sassi, dalam bukunya yang
berjudul: “Strategies for Sustainable architecture”, hal-hal yang
mempengaruhi tepat guna lahan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: memilih lahan
dengan mempertimbangkan keberadaan fasilitas transportasi publik, jaringan
pedestrian dan jalur sepeda, nilai ekologi lahan, dan dampak lahan pada
komunitas; menggunakan lahan dengan efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan
komunitas, kepadatan, pengembangan yang atraktif, kemungkinan mixed-use, dan
membangun diatas lahan yang sebelumnya
terabaikan; meminimalisir dampak pengembangan dengan melindungi habitat alami,
memoertahankan tanaman existing, meningkatkan potensi pedestrian dan jalur
sepeda, menambahkan fungsi produksi pangan apabila memungkinkan.
Dalam praktiknya, desain Bangunan Hijau
atau Green building terkadang ditolak oleh klien karena besaran dana
yang cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan bangunan tanpa konsep green
dalam upaya mempersiapkan fasilitas-fasilitas ‘hijau’-nya tanpa mengetahui
dan/atau mempertimbangkan besaran dana yang perlu dipersiapkan nantinya
manakala bangunan siap untuk ditinggali. Hal ini juga terjadi karena kurangnya
pengetahuan dan/atau kesadaran klien mengenai pentingnya Arsitektur Hijau bagi
keberlangsungan komunitas kedepannya.
Contoh
bangunan green architecture di Indonesia terdapat pada bangunan Green
School. Struktur yang menarik dan tampak kuno di tengah hutan di Badung, Bali,
mengungkapkan kehadiran sekolah eksperimental, yang mendidik murid-muridnya
tentang hal-hal yang berkelanjutan.
Sisi
terbuka bangunan ini menghubungkannya dengan alam terbuka dan rencana interior
terbuka yang mendorong ventilasi alami.
Proyek
ini disusun oleh perusahaan desain dan konstruksi PT Bamboo Pure, yang
menggunakan bambu, dan Meranggi Foundation, yang mendirikan perkebunan bambu di
Indonesia, menyalurkan tanaman-tanaman bambu ke petani setempat secara gratis.
Bagian
lain dari sekolah dibangun menggunakan karet daur ulang dan kaca depan mobil,
sementara lahannya dimanfaatkan untuk kebun organik dan pagar yang terbuat dari
pepohonan.
Kengo
Kuma, seorang arsitek Jepang yang dikenal secara simpatik menghubungkan
bangunan-bangunan dengan alam, dipercaya merenovasi rumah kaca yang dirancang
John Black Lee pada 1956.
Glass
Wood House
terletak di New Canaan, Connecticut, dan Kuma mengubah simetri kotak modernis
itu dengan menambahkan bangunan tambahan berbentuk L yang masuk sampai ke hutan
tanpa memaksakan lanskap.
"Kami
menciptakan perubahan besar dengan membuang simetri rumah dan menutupi bagian
luarnya dengan kisi-kisi kayu," ujarnya, seraya menambahkan bahwa rumah
yang direnovasi ini sekarang memiliki transparansi 'ringan' yang menggantikan
tembus pandang yang terbatas.
BAB
III
STUDI
KASUS
Sudirman
merupakan sebuah daerah di Jakarta yang tropis, didominasi oleh gedung-gedung
perkantoran. Kebanyakan gedung perkantoran disana dibangun pada masa International
Style yang sedang menjamur yaitu era 1980an. Sehingga bangunan didominasi
oleh kaca mati yang sangat tidak merespon iklim tropis dan dan kebutuhan
lingkungan kota Jakarta. Akibatnya penggunaan pendingin ruangan secaraa
maksimal, pemborosan energi lainnya dan pencemaran lingkungan semakin
menjadi. Sehingga penerapan enam aspek arsitektur hijau yaitu konservasi energi, kerjasama dengan iklim, pengurangan pemakaian
sumber daya baru, kesesuaian untuk pengguna dan tapak serta cakupan banyak
aspek yang saling mendukung merupakan solusi yang tepat untuk bangunan
perkantoran di daerah Sudirman.
ANALISIS
Tidak
seluruh bangunan perkantoran di Sudirman
adalah korban dari
international
style atau hanya memperhatikan
efisiensi biaya pembangunan tanpa memperhatikan lingkungan.
Berikut adalah kasus-kasus yang akan dijelaskan, dipilih bedasarkan tiga
kategori. Kategori pertama adalah bangunan yang sudah menerapkan
arsitektur hijau, kemudian bangunan yang sudah mendapat sertifikasi GBCI, dan
yang terakhir adalah bangunan yang paling tidak memperhatikan arsitektur hijau.
Wisma Dharmala (sekarang Intiland Tower) Meskipun bukan
merupakan bangunan bersertifikasi GBCI, namun gedung ini telah menerapkan aspek-aspek arsitektur hijau.
Didirikan tahun 1986 oleh arsitek Paul Rudolph. Rudolph terinspirasi dari
bentuk atap-atap di Indonesia yang memiliki overstek karena merespon iklim
tropisnya sehingga apabila di dalam gedung tidak
akan secara langsung diterpa cahaya matahari. Terdapat pula void yang
cukup besar sehingga udara sejuk masih
terasa di dalanya tanpa kehujanan saat merasakannya. Bahkan diperencanaan
awal, bangunan ini sebenarnya tidak perlu menggunakan pendingin ruangan.
Namun seiring berjalannya waktu dan
efek rumah kaca ttelah memberi panas yang cukup parah dan tidak menentu,
akhirnya bangunan ini menggunakan pendingin ruangan. Namun pada
koridor hal tersebut masih tidak diperlukan karena udara sejuk masih dapat masuk. Pencahayaan lampu pada siang
hari juga tidak terlalu diperlukan pada koridor karena cahaya matahari masih dapat masuk tanpa pengguna merasa terik
maupun kehujanan. Dari keenam aspek arsitektur hijau, sudah diterapkan
setidaknya lima aspek pada Intiland Tower ini. Bangunan ini telah berusaha
mengoptimalkan energi yang dimiliki alamnya, merespon iklim, merespon kebutuhan pengguna dan keadaan tapaknya,
dan adanya aspek yang saling mendukung.
Menara BCA Kontras dengan Wisma Dharmala Sakti yang
memberikan keramahan melalui kesederhanaan, gedung seluas 450.00 meter persegi ini
menggunakan teknologi yang canggih untuk
tetap ramah. Fasadnya didominasi kaca mati namun teknologinya ramah
lingkungan. Merupakan bangunan peraih
sertifikasi hijau pertama di Jakarta, bangunan pencakar langit ini
menggunakan double glasses sehingga hemat
energi sampai 35 persen. Lahan ini juga mampu mengolah air hujan sampai seratus persen. Namun tidak
semaksimal aspek arsitektur hijau yang
diterapkan Wisma Dharmala, bangunan ini tidak benar-benar memaksimalkan penggunaan energi alam dan
iklim tropisnya. Kalau itu benar-benar dimanfaatkan,
maka penggunaan double glasses tidak diperlukan. Namun teknologi
ini bisa menjadi salahsatu usaha penghematan energi dan tetap ramah lingkungan meskipun desain bangunannya modern
ataupun futurisitik. Material yang digunakan pada bangunan ini seluruhnya
merupakan material lokal.
Sampoerna Strategic Square Masih satu kategori
dengan menara BCA yaitu peraih sertifikasi GBCI, bangunan ini secara desain
juga memiliki keunikan tersendiri. Desainnya seperti bangunan Eropa klasik dengan taman yang bertema senada
dengan bangunanya. Teknologi bangunan hijau yang diterapkan adalah
aspek mendaur ulang sumber daya yang ada
yaitu air kemudian digunakan untuk perawatan lansekap dan cooling
tower. Selain itu dilakukan upla pemisahan sampah sehingga pengolahannya lebih mudah dan tidak mencemari lingkungan. Sama
seperti Menara BCA, tidak semaksimal aspek arsitektur hijau yang diterapkan Wisma Dharmala, namun tetap merespon
lingkungannya menggunakan teknologi yang dimiliki.
Melalui
contoh-contoh di atas dapat dipahami apa saja yang dibutuhkan sebuah
bangunan untuk menjadi bangunan hijau. Lingkungan adalah pokok intinya
dan teknologi adalah wadah untuk mencapainya.
Konsep pertama yang dianalisa apakah semua tampak bangunan sesuai dengan
kriteria. Sebagai contoh Menara BCA dan
Plaza Marein tadi. Menara BCA memang masih berusaha menggunakan
teknologi eco-wall dengan double
glasses sehingga pemborosan dan pencemaran
dapat jauh dikurangi. Namun teknologi tersebut tidak diterapkan di Plaza
Marein. Konsep selanjutnya yang harus diperhatikan
adalah konsep pencahayaan dan pengudaraan alamin. Kekurangan dari penggunaan eco-wall adalah
bangunan akan menjadi lebih gelap dan pengudaraan alami akan sangat tidak
dimungkinkan. Memperbanyak bukaan seperti yang dilakukan Wisma Dharmala adalah penerapan konsep yang
sangat baik. Kemudian konsep transportasi vertical dalam gedung. Salahsatu
teknologi terbaru pada elevator yaitu sistem meminta lift kita akan
diturunkan dimana. Memilih lantai tidak didalam lift namun diluar lift.
Teknologi ini menghemat energi kontrol lift dan juga waktu bagi pengguna lift.
Teknologi ini telah diterapkan di salahsatu kantor di kawasan SCBD. Konsep
pengolahan limbah juga perlu diperhatikan. Seperti yang dilakukan Sampoerna Strategic Square adanya pembagian
sampah dan daur ulang limbah air. Sehingga limbah bangunan tidak dibiarkan
begitu saja mencemari lingkungan sekitar. Apalagi Sudirman merupakan daerah
yang cukup padat sehingga limbah tidak selayaknya dibuang sembarangan agar tidak menambah polusi udahra
yang sudah cukup tinggi akibat tingginya volume kendaraan. Selain itu, konsep
konstruksi juga menjadi pertimbanguan. Sudirman begitu sibuk dan
padat. Pembangunan perkantoran baru ataupun renovasi harus memikirkan
lingkungan sekitarnya. Resiko bising, getaran akibat tiang pancang, dan keselamatan
kerja serta sekeliling haruslah menjadi konsep yang diperhatikan.
Bedasarkan
penjabaran diatas, arsitektur hijau sudah
seharusnya diterapkan pada bangunan perkantoran di daerah Sudirman
baik menggunakan teknologi tinggi atau lebih baik lagi sederhana namun
memenuhi kebutuhan. Karena apabila tidak, lingkungan Sudirman
dan sekitarnya akan semakin rusak dan kedudukannya sebagai pusat bisnis
pun akan tidak nyaman lagi.
BAB
IV
KESIMPULAN
Green
architecture ialah
sebuah konsep arsitektur yang berusaha
meminimalkan
pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan
menghasilkan
tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan
cara
memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal.
Konsep
‘Green building’ atau bangunan hijau mengacu pada struktur dan
menggunakan
proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya
yang
efisien di seluruh siklus hidup bangunan: dari penentuan tapak sampai desain,
konstruksi,
operasi, pemeliharaan, renovasi pembongkaran, dan. Praktik ini
memperluas
dan melengkapi desain bangunan klasik keprihatinan ekonomi, daya
tahan
utilitas,, dan kenyamanan.
Sustainable
architecture
atau Arsitektur Berkelanjutan, adalah sebuah konsep
terapan
dalam bidang arsitektur untuk mendukung konsep berkelanjutan, yaitu
konsep
mempertahankan sumber daya alam agar bertahan lebih lama, yang dikaitkan
dengan
umur potensi vital sumber daya alam dan lingkungan ekologis manusia,
seperti
sistem iklim planet, sistem pertanian, industri, kehutanan, dan tentu saja
arsitektur.
DAFTAR
PUSTAKA
REFERENSI
BUKU
Frick,
Heinz. 1996. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
REFERENSI
JURNAL
Nabila
Dewantari. 2012. Arsitektur Hijau Pada Perkantoran di Sudirman.
Mira
Rosana. 2018. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Di
Indonesia.
M.
Maria Sudarni. 2015. Penerapan Green Architecture Dan Green Building
Sebagai
Upaya Pencapaian Sustainable Architecture.
REFERENSI
GAMBAR
Google
Images













Komentar